Benarkah MK melegalkan
Zina dan LGBT
Isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT) kembali ramai dibicarakan di media sosial. Ramainya isu LGBT ini setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan menolak permohonan perluasan makna Pasal 284, Pasal
285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait Asusila.
Para pemohon menginginkan agar aktivitas Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender-LGBT
masuk dalam ranah pidana.
Putusan yang dibacakan
Kamis, 14 Desember 2017 itu, sempat terjadi Dissenting Opinion (perbedaan
pendapat). Sebanyak empat hakim menyetujui perluasan makna pasal, yakni Arif
Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Sementara lima lainnya
menolak permohonan yakni, Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M
Sitompul dan Suhartoyo. Banyak kalangan menganggap MK melalui putusan itu, sama
saja telah melegalkan perbuatan zina dan homoseksual. Kendati tudingan ini
telah dibantah MK sendiri.
Sebuah kelompok bernama Aliansi Cinta Keluarga
(AILA), mengajukan uji materi terhadap pasal perzinahan dalam KUHP dan hubungan
homoseksual di Mahkamah Konstitusi Jakarta Pemohon berharap agar KUHP mampu menjangkau
kejahatan seksual lain seperti seks bebas di luar nikah, kumpul kebo,
prostitusi, perkosaan dan cabul sesama jenis baik yang dilakukan oleh orang
dewasa maupun anak-anak.
Pemohon meminta agar
MK membuat norma baru sehingga negara dapat memenjarakan, mengkriminalisasi
kelompok yang memiliki orientasi seksual non normatif, non heteroseksual atau
kelompok seksual minoritas.
Uji Materi atau Judicial Review (JR)
terhadap pasal 284, 285, 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang kesusilaan ditempuh karena adanya peningkatan kejadian dan data yang
sangat meningkat, terkait penyimpangan seksual, zina, pemerkosaan, serta cabul
sesama jenis di tengah masyarakat. Ketua Tim Pemohon, Prof Dr Euis Sunarti
menyatakan, data yang ditemukan di lapangan itu betapa luar biasa dan sangat
menyedihkan. Terkait dengan cabul sesama jenis, katanya, titik data dalam
beberapa tahun lalu di satu daerah yang terpencil sudah mencapai ribuan.
Dalam acara tersebut,
salah satu yang menjadi pembicara adalah seorang aktivis gay Indonesia, Dede
Oetomo. Pendiri Gaya Nusantara ini mengapresiasi keputusan MK untuk menolak
permohonan uji materi soal zina dan LGBT. "saya membaca di balik itu, kalau kita membaca
argumentasi pada awal putusan kemarin ada tersirat sebetulnya bahwa mempidana
perilaku yang dianggap berbeda itu bukan satu-satunya jalan keluar,"
ungkap Dede Utomo.
Selain soal uji materi
yang ditolak MK, dibahas juga soal dampak dari mengerikan dari LGBT itu
sendiri, yakni HIV Aids. Dalam pembahasan ini, Dede beranggapan bahwa aktivitas seks anal dan
vaginal memang merupakan penyebab dari penularan HIV. Namun, tak semua aktivitas seks melalui anal dimonopoli oleh
kaum gay. Karena
ada juga pria dan wanita atau remaja laki-laki dan perempuan yang melakukan
aktivitas seksual seperti itu. Ia juga memberi
contoh kalau kaum homoseksual tak selalu melakukan aktivitas seks anal, misalnya di pesantren-pesantren itu menggunakan
diantara paha, itu aman sekali dari HIV
Menanggapi hal itu, Prof Euis Sunarti dari Aila
Indonesia beranggapaan kalau perilaku zina dan LGBT ini menjadi pintu
yang paling mudah dalam penularan HIV. Begitupun dengan pendapat dari dr
Dewi Inong, menurut dr Dewi Inong, perilaku seksual LGBT
beresiko tertinggi tertular IMS dan HIV/AIDS.
Jika gugatan ini disetujui, hubungan seksual
diantara sesama jenis dan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan resmi akan
dianggap illegal. Namun majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan
sembilan orang dengan hasil suara yang berbeda tipis memutuskan menolak
permohonan tersebut.
Mantan
ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD angkat bicara mengenai permasalahan
tersebut. Melalui akun Twitter pribadinya,
Mahfud menegaskan bahwa MK menolak memberikan perluasan tafsir ketiga pasal
seperti yang dimohonkan oleh pemohon. Ia menegaskan, sebagai lembaga yudikatif,
MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru. Mengatur untuk membolehkan atau melarang suatu
perbuatan merupakan ranah legislatif atau pembuat undang-undang, yakni Presiden
dan DPR.
·
Zina dan LGBT berkaitan dengan nilai-nilai
Pancasila
Tentu ini sangat bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila, ini sebuah ancaman yang sangat berbahaya dan dapat
merusak moral anak bangsa. Kita
tidak ingin perilaku menyimpang dan penyakit sosial itu semakin marak dan
merusak masa depan bangsa kita.
penolakan itu semakin mengancam masa depan generasi bangsa dan
tidak sesuai dengan karakter kebangsaan Indonesia yang beradab, bermartabat,
dan relijius. Permohonan ini adalah upaya mengokohkan kebangsaan sesuai
Pancasila dan UUD 1945 sebagai nilai-nilai luhur bangsa. Sejatinya ini bagian
dari tanggung jawab kita untuk menjaga moral, karakter, dan identitas bangsa.
Pembentukan norma hukum, khususnya dalam gugatan tentang zina
dan hubungan sesama jenis mestinya selalu mendasarkan pada nilai-nilai Agama
dan sinar Ketuhanan yaitu Pancasila. Orang yang anti LGBT melihat kelompok ini
sebagai bencana. Mereka punya ketakutan amat kuat. Mungkin seperti ketakutan
orang Eropa rasis yang phobia pada muslim.
Negeri yang mayoritas muslim, kok bisa tidak mempidanakan
kumpul kebo alias zina dan LGBT. Bukankah ideologi dan dasar negara kita itu Pancasila,
apakah zina dan LGBT sesuai dengan norma-norma yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila lahir dari Pemikiran
sang Proklamator NKRI Ir. Soekarno dalam merumuskan Pancasila tak lepas dari
ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Padahal Islam sendiri tegas dan keras mengharamkan Zina dan
LGBT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar